Rabu, 19 Oktober 2011

Karate-ka Indonesia Bertekad Untuk Mengulangi Prestasi

0 komentar

Tim nasional cabang olahraga karate Indonesia bertekad mengulangi prestasi manis pada kompetisi SEA Games Laos 2009. Ketika itu karatedo Indonesia Umar Syarif yang terjun di kelas + 84 dan Faizal Zainuddin di kata perorangan berhasil mendulang medali emas. Sedangkan tim putri hanya mampu mempersembahkan perak. 

Manajer cabang olahrga karate, Zulkarnaen Purba, mengatakan ambisi kembali meraih prestasi tidak diragukan lagi karena SEA Games XXVI diselenggarakan di rumah sendiri, Palembang-Jakarta, pada 11-22 November 2011. "Kami optimistis akan meraih tiga medali emas untuk tim putra dan dua untuk putri. Kami yakin itu," kata Zulkarnaen di Gelora Bung Karno, Jakarta, Selasa, 18 Oktober 2011.

Menurut Zulkarnaen, tiga dari tim putra dan dua putri diandalkan mendapat medali. Mereka adalah Umar Syarif yang akan turun pada kelas +84, Donny Jintar, dan Dermawan. Untuk pekarate putri ada Yolanda dan Tendri.

Pesaing berat untuk putra dan putri adalah Malaysia dan Vietnam. Tapi dua lawan berat ini bisa diatasi karena pada SEA Games lalu tim putra mampu menumbangkan mereka. "Kami tidak menganggapnya remeh. Begitu juga dengan lawan-lawan lainnya," ujar dia.

Tim Karatedo Indonesia akan diperkuat 22 atlet, terdiri dari 11 putra dan 11 putri. Khusus atlet Umar, kata Zulkarnaen, merupakan ajang terakhir mengikuti event terbesar di Asia Tenggara ini. Jadi, dengan sejumlah prestasinya selama ini Umar diharapkan menutup kariernya dengan mempersembahkan medali emas.

"Umar dan andalan lainnya harus mengangkat nama Indonesia di kancah internasional dengan prestasi yang baik," ujar dia menegaskan. Karena itu dalam waktu kurang dari satu bulan ini konsentrasi latihan lebih difokuskan pada latihan siap bertanding, yakni peningkatan strategi, taktik, fisik, dan mental.

Gerakan penting yang harus dikuasai adalah bloking dan mempertajam reaksi serta memelihara mental. "Kesiapannya sudah mencapai 90 persen, 10 persennya proses pemantapan," ucap Zulkarnaen lagi. Harapan untuk menggulung medali sedikit mengalami hambatan. Sang manajer menyayangkan manajemen pengelola SEA Games tidak maksimal menyediakan tempat latihan.

Dia mengatakan selama ini pelaksanaan latihan tidak memiliki tempat yang jelas. "Latihannya berpindah-pindah. Ini berdampak buruk bagi para peserta," ujarnya. Padahal selang waktu kurang lebih satu bulan ini latihannya harus benar-benar full.

Meski sudah beberapa kali disampaikan ke pihak manajemen, hal itu tidak pernah direspons. "Kami minta agar diberikan tempat latihan permanen," kata dia. Mantan pelatih ini juga menolak jika pertandingan dilaksanakan di Palembang. "Kami tidak mau bertanding di Palembang, kami mau di Gelora Bung Karno," katanya.

Pelatih Kepala Cabang Karate Christine Taroreh mengatakan sebelum berlaga di SEA Games nanti akan ada simulasi semi pertandingan yang dilaksanakan tiap minggu. Uji coba ini akan dilakukan sesama atlet karate dari daerah yang dipersiapkan untuk pra-Pekan Olahraga Nasional. Atlet yang bakal menjadi lawan dalam simulasi tersebut di antaranya atlet dari DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. "Mereka yang terbaik," katanya.

Perkembangan latihan saat ini, Christine menjelaskan, tinggal perawatan mental, fisik, strategi, dan taktik hingga SEA Games nanti. Pihaknya telah siap berhadapan dengan lawan dari 10 negara yang ikut dalam kejuaraan terbesar di wilayah Asia Tenggara ini. "Malaysia dan Vietnam telah mengirim atletnya full kelas," ujarnya. "Kami optimistis akan meraih medali emas nanti."

Diposting oleh Sceru King 0 komentar
Read More

Selasa, 18 Oktober 2011

Tameshiwari

0 komentar
Tameshiwari atau teknik mematahkan, menghancurkan atau memecahkan benda keras, menjadi sebuah tontonan menarik yang kerap ditampilkan pada even seni beladiri. Kemampuan fisik mematahkan potongan kayu, stik base ball, batang besi, kikir, menghancurkan tumpukan bata, genteng, balok es dan sebagainya ini dipelajari di sejumlah perguruan seni beladiri, salah satunya Karate dan memang istilah Tameshiwari sendiri berasal dari seni beladiri negeri matahari terbit tersebut.

Masing-masing perguruan memiliki metode latihan tameshiwari . Ada yang menerapkan latihan pernapasan yang berkorelasi dengan penghimpunan tenaga dalam, adapula hanya mengandalkan latihan fisik semata.

Terlepas dari bagaimana melatih tameshiwari, jika dikaji lebih jauh ilmu ini memberikan banyak pelajaran bagi praktisi beladiri.

Agar tangan, kaki, kepala dan berbagai anggota tubuh lainnya mampu 'mengalahkan' benda keras, diperlukan latihan rutin yang memakan waktu panjang. Di sinilah dituntut ketekunan, kerja keras, kesabaran dan kehati-hatian dalam mencapai satu tujuan.

Sebelum mempraktikkan tameshiwari, terlebih dahulu melakukan persiapan diri. Di sini diperlukan konsentrasi, pengendalian diri, peningkatan keyakinan dengan berdoa dan sugesti yang kuat sehingga timbul kepercayaan diri .

Nah, dengan berlatih tameshiwari, tidak semata peningkatan kemampuan fisik yang kita dapat, tapi juga peningkatan mental dan spiritual.

Diposting oleh Sceru King 0 komentar
Read More

Panggilan Kepada Guru

0 komentar
Sensei, renshi, kyoshi, shihan, doshu, adalah istilah yang sering diucapkan seorang murid kepada sang guru maupun terhadap seseorang yang lebih tinggi tingkatannya dalam seni beladiri Jepang/Okinawa.Apa arti masing-masing panggilan tersebut dan bagaimana menerapkannya secara tepat?

Sistem tingkatan (kyu) yang ditandai dengan warna sabuk sangat umum digunakan dalam seni beladiri. Awalnya sistem ini diciptakan oleh Jigoro Kano, pendiri Kodokan Judo.

Kano adalah seorang pendidik bergelar professor, ia mengetahui bahwa seseorang akan memberikan respon yang lebih baik kepada tujuan jangka pendek dibandingkan dengan tujuan jangka panjang. Karena itu, Kano membagi tingkatan atau rangking untuk masing-masing tahapan untuk mendorong murid giat berlatih.

Konsep ini kemudian diadopsi oleh Gichin Funakoshi, guru besar Karate Shotokan, selanjutnya diterima pula oleh aliran karate lainnya serta berbagai perguruan seni beladiri di Jepang hingga diadopsi pula di negara lain.

Sistem ini tetap dipertahankan dan kini orang berlatih beladiri di samping untuk berprestasi juga untuk mencapai tingkatan berikutnya dengan tanda warna sabuk berbeda.

Mengenai warna, sebenarnya telah lama digunakan dalam kuil-kuil untuk membedakan tingkatan. Kano mengadaptasi konsep ini untuk mempertegas tingkatan dalam seni beladiri.

Warna putih adalah simbol kemurnian seorang pemula, warna hitam menunjukkan akumulasi pengetahuan yang diperoleh selama bertahun-tahun latihan.

Sebelum dikenal sistem sabuk, dalam dunia seni beladiri Jepang digunakan metode tingkatan dengan pemberian sertifikat khusus kepada para murid. Sertifikat pertama yang mengakui seseorang sebagai murid adlaah Shodan, artinya pemula. Sertifikat kedua, Chudan, menunjukkan tingkat menengah atau keseriusan dalam latihan. Kemudian sertifikat Jodan, di mana murid diizinkan memasuki Okuden, suatu tradisi rahasa dalam ryu (aliran beladiri).

Metode kuno lainnya menggunakan sistem lisensi Menkyo. Kelas permulaan adalah Kirikami, diberikan kepada murid yang telah berlatih selama 3 tahun. Pemberian kirikami berarti sang murid telah diterima dalam ryu sebagai praktisi yang serius. Tingkatan berikutnya adalah Mokuroku atau catatan sistem waza (teknik) yang menunjukkan sejauhmana pengetahuan murid.

Jika setelah 2-10 tahun murid tersebut telah menunjukkan dedikasinya terhadap perguruan serta memiliki kemampuan untuk mengajar, maka diberikan tingkatan Menkyo atau lisensi untuk mengajar. Pemegang lisensi ini mendapat beberapa gelar atau panggilan, antara lain Sensei, Shihan, Renshi, Kyoshio atau Hanshi, tergantung pada sistem yang dipakai masing-masing perguruan.

Tingkatan terakhir yang diberikan pada sistem Menkyo adalah Kaiden. Tingkatan ini menunjukkan bahwa murid telah mempelajari semua ilmu di perguruan atau aliran. Tingkatan ini biasanya diberikan guru besar kepada murid yang paling dekat dan dipercaya menjadi penerus.

Demikian juga panggilan menurut tingkatan, masih ada berbagai sebutan tergantung pada sistem yang digunakan. Para kepala kuil dikenal sebagai Osho atau Soke. Osho berarti serdadu perdamaian yang diterjemahkan dalam kaitan dengan kuil-kuil Budha. Soke diartikan kepala rumah.

So dikaitkan dengan seni beladiri yang lebih tepatnya diterjemahkan sebagai guru daripada kepala. Misalnya, Taisho (guru agung), Soshi atau Doshu (guru kepala), Sosho (guru suatu seni), Kaiso (cikal bakal), Shodai (guru kepala generasi pertama, meski adapula mengartikan sebagai pendiri), kemudian Nidai Soke dan Sandai Soke (generasi kedua dan ketiga).

Sementara dua istilah yang kerap salah diterjemahkan sebagai pendiri atau semacam headmaster adalah Kaicho dan Kancho. Kaicho berarti presiden asosiasi atau ryu, sedangkan Kancho adalah kepala suatu aliran yang biasanya mengajarkan ryu tertentu.

Seorang headmaster ataupun hanya murid senior dapat menjadi Kaico atau Kancho. Misalnya ketika seorang guru besar menyadari bahwa putranya sebagai pewaris perguruan masih berusia terlalu muda, sehingga sebelum meninggal ia akan menamakan putranya Sandai Soke dan memberikan gelar Kancho kepada murid paling senior.

Sensei adalah istilah generik untuk semua guru, meski sebagian organisasi memberikan gelar ini secara khusus kepada orang telah memenuhi syarat untuk mengajar. Mengajar dianggap sebagai tanggung jawab yang harus diemban, bukan merupakan hak otomatis, bersamaan dengan sabuk hitam yang diperoleh.

Jika tidak diterjemahkan secara harfiah, Sensei berarti kehidupan sebelumnya. Sebagian besar gelar Sensei dipakai untuk menandakan bahwa seseorang telah mampu mengajarkan apa yang dipikirkannya dan tingkatan kreativitas lebih tinggi belum tercapai.

Renshi adalah panggilan diberikan kepada seseorang yang qualified dan telah mengabdikan diriya kepada seorang guru besar. Terjemahan harfiahnya, guru ahli mendidik.

Kyoshi diterjemahkan sebagai instruktur senior atau instruktur kepala, sedangkan makna yang sebenarnya adalah guru yang dipercaya. Orang yang mendapat gelar ini dianggap sebagai pendukung setia dari ryu.

Shihan adalah panggilan lain yang digunakan untuk menunjukkan penguasan suatu seni beladiri. Beberapa perguruan seni beladiri ada yang menandai gelar ini dengan pemakain sabuk berwarna merah dan putih, karena penguasan ilmunya dianggap lebih tinggi dari sabuk hitam.

Salah satu panggilan paling jarang digunakan namun paling berarti dalam seni beladiri bangsa Jepang/Okinawa adalah Meijin. Biasanya diberikan kepada pelatih yang berusia lanjut dan telah menunjukkan dedikasi, komitmen dan pengabdian khusus pada seni beladiri yang dipelajarinya. Meijin berarti orang bijaksana yang berkaitan dengan kemampuan spiritualnya yang tinggi.

Diposting oleh Sceru King 0 komentar
Read More

Senin, 17 Oktober 2011

Kontrol Emosi Perlu Dalam Kumite

0 komentar
Ilmu bela diri sebenarnya sudah dikenal semenjak manusia ada. Salah satu ilmu bela diri yang terus berkembang hingga saat ini adalah karate. Perkembangan karate sebagai salah satu bentuk ilmu bela diri diawali dengan penyebaran para pendeta pengikut Sidharta Gautama ke seluruh dunia untuk menyebarkan ajarannya. Para pendeta tersebut dibekali dengan ilmu bela diri untuk dapat melalui sulitnya medan yang akan dilalui. 

Penyebaran ilmu bela diri para pendeta pengikut Sidharta Gautama tidak sampai ke Jepang, hanya sampai di Kepulauan Okinawa karena pada saat itu di Jepang telah berkembang ilmu bela diri ju jitsu, judo, kendo, dan kenjutsu (ilmu pedang). Pada tahun 1600-an, Kerajaan Jepang yang telah menguasai Okinawa melarang penduduknya memiliki senjata tajam termasuk tongkat bagi orang tua. Oleh karena itu, masyarakat Jepang akhirnya mengembangkan ilmu bela diri dengan tangan kosong yang saat itu dikenal dengan tote. Pada tahun 1921, seorang penduduk Okinawa bernama Funakoshi Gitchin memperkenalkan tote ke Jepang, dan berubah namanya menjadi karate karena sesuai dengan aksen Jepang dalam cara membaca huruf kanji. Sejak saat itu karate berkembang pesat di Jepang dan ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Masuknya karate ke Indonesia dibawa oleh para mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang pulang setelah menyelesaikan pendidikan mereka di Jepang. 

Sesuai dengan perkembangan latihan karate di seluruh dunia, di Indonesia juga menerapkan tiga dasar latihan karate, yaitu kihon, kata, dan kumite. Kihon adalah istilah untuk latihan teknik-teknik dasar karate seperti teknik memukul, menendang, dan menangkis. Kata adalah istilah untuk latihan jurus-jurus atau bunga karate, dan yang terakhir adalah kumite yang merupakan istilah untuk latihan bela diri atau tempur.

Kumite sebagai salah satu metode latihan dalam bela diri karate, merupakan aplikasi praktis dari teknik menyerang dan bertahan dari serangan musuh (Nakayama, 1989). Hal ini jugalah yang membuat karate disebut sebagai salah satu aktivitas olahraga body contact, karena selama dalam suatu pertarungan (sparring) atau pertandingan akan selalu terjadi sentuhan fisik secara langsung antar karateka yang bertarung. Penguasaan reaksi emosi pun harus dimiliki oleh tiap atlet agar tidak ada pihak-pihak yang dirugikan atau yang terluka atas aktivitas fisik yang dilakukannya (Sukadiyanto, 2006). 

Pada suatu pertandingan bela diri, seorang atlet harus berjuang sendiri dalam meredakan maupun membangkitkan emosinya, serta mengendalikannya dengan baik pada saat bertanding karena banyak kegagalan yang akan dialami oleh seorang atlet yang disebabkan atlet tersebut tidak dapat memanfaatkan dan mengontrol perubahan emosi yang terjadi pada dirinya.

Emosi dapat dikatakan sebagai suatu kegiatan mental yang merujuk pada perasaan atau pikiran yang menimbulkan kecenderungan pada diri seseorang untuk melakukan suatu kegiatan. Emosi yang merupakan kondisi sadar yang muncul pada diri seseorang akibat adanya interaksi dengan lingkungan berhubungan dengan proses-proses fisiologis pada diri orang tersebut. Manifestasinya dapat terlihat misalnya dengan timbulnya emosi agresif, menghindar, atau senang. 

Kestabilan emosi dapat diartikan sebagai kondisi emosi yang mantap, dapat menyesuaikan dengan lingkungan sekitarnya, sehingga tidak menimbulkan gangguan emosional seperti cemas atau tertekan. Kestabilan emosi juga dapat dikatakan sebagai suatu kecenderungan pada diri seseorang untuk dapat mengendalikan respon emosionalnya, sehingga tidak terpengaruh oleh keadaan di luar dirinya.

Seseorang yang mengikuti latihan karate dapat dipengaruhi oleh adanya faktor keinginan dari dalam dirinya sendiri maupun dari luar dirinya. Faktor dari dalam diri sendiri dapat muncul karena adanya keinginan untuk dapat melindungi diri sendiri dan melindungi orang di sekitarnya. Faktor dari luar diri misalnya adanya pengaruh dari orang tua dan teman-teman. Namun, seorang karateka yang pada awalnya berlatih karate karena adanya keinginan dari luar dirinya bukan berarti tidak dapat mempertahankan eksistensinya di bidang karate. Sebaliknya, mereka juga dapat berprestasi dan tetap eksis untuk jangka waktu yang lama, tidak jauh berbeda dengan karateka yang berlatih karate karena keinginannya sendiri.

Sebelum bertanding, persiapan yang dilakukan oleh seorang atlet karate terdiri dari persiapan fisik dan mental. Persiapan fisik dilakukan dengan melatih fisik dan teknik bertanding, sedangkan persiapan mental dilakukan dengan berlatih tanding dengan teman atau sparring partner. Persiapan mental juga dapat didukung oleh doa. Pertandingan karate, terutama pertandingan kumite merupakan pertandingan olah raga yang tidak terukur, artinya bahwa keberuntungan dianggap berpengaruh, sehingga doa menjadi suatu hal yang penting dan mempengaruhi mental seorang atlet.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui bentuk-bentuk emosi yang muncul pada seorang atlet karate yang mengikuti pertandingan kumite. Emosi yang muncul sebelum memasuki arena pertandingan, sampai dengan emosi pada saat menghadapi lawan, dan cara masing-masing atlet mengelola emosi-emosi yang muncul sampai pertandingan tersebut dapat diselesaikan.

Emosi yang biasanya dirasakan oleh seorang atlet sebelum bertanding adalah munculnya rasa gugup dan takut. Rasa takut yang muncul biasanya disebabkan adanya ketakutan akan cidera pada saat bertanding, takut mengalami kekalahan, takut tidak dapat bermain maksimal dan memberikan yang terbaik bagi orang-orang yang mendukungnya. Rasa gugup atau ketakutan yang dirasakan sebelum bertanding, biasanya akan hilang pada saat seorang atlet memasuki arena pertandingan.



Sebelum masuk arena, untuk menghadapi rasa takut maupun gugup yang dirasakan, tiap-tiap atlet memiliki cara masing-masing untuk mensiasatinya. Misalnya dengan mendengarkan musik, membaca, relaksasi, atau berbincang-bincang dengan teman-teman atau sesama atlet. Setiap atlet memang sangat dianjurkan untuk dapat menghilangkan kegugupan yang dirasakannya sebelum pertandingan, karena apabila hal tersebut tidak dilakukan maka akan dapat mempengaruhi konsentrasi pada saat bertanding. Apabila konsentrasi terganggu, maka strategi yang telah dipersiapkan tidak dapat dijalankan dengan baik, dan akhirnya atlet tersebut tidak dapat mencapai prestasi yang maksimal (PB-PBSI, 2006).

Pada saat menghadapi lawannya di arena pertandingan, seorang atlet profesional akan berusaha menunjukkan performa terbaiknya, mengerahkan segala kemampuan, dan mengeluarkan teknik-teknik yang telah dipelajarinya selama latihan. Performa atlet tersebut juga akan sangat dipengaruhi oleh kondisi lawan yang dihadapinya, termasuk emosi yang akan muncul selama pertandingan berlangsung. Emosi negatif seperti marah dapat muncul pada seorang atlet ketika lawannya menjadikan wajah atlet tersebut sebagai sasaran dari serangannya. Kecenderungan yang terjadi, seorang atlet akan menjadi lebih sensitif dan mudah terpancing emosinya untuk membalas ketika wajahnya sudah dipukul oleh lawannya. Emosi negatif juga dapat muncul apabila seorang atlet sudah tertinggal nilainya sejak awal pertandingan, apalagi jika atlet tersebut merasa bahwa serangan-serangan yang dilakukannya dianggap tidak masuk oleh wasit, sehingga tidak memberikan tambahan pada nilainya.

Emosi negatif yang muncul pada seorang atlet ketika bertanding dapat mempengaruhi gerakan dan serangannya. Emosi dianggap mempengaruhi faktor fisiologis pada diri atlet. Gerakan atau serangan atlet tersebut dapat menjadi tidak akurat dan tidak sesuai dengan teknik yang sebenarnya ingin dikeluarkan atau digunakannya. Goleman (2002) menyatakan bahwa bila emosi telah mengalahkan konsentrasi atau kemampuan berpikir seseorang, semua informasi atau pengalaman yang telah dimilikinya akan menjadi lumpuh atau tidak berfungsi dengan baik. Dalam hal ini, informasi atau pengalaman yang dimiliki oleh seorang atlet didapat dari latihan yang telah dilakukannya sebagai persiapan selama jangka waktu tertentu sebelum mengikuti pertandingan.

Emosi negatif sebagai salah satu gejala yang muncul pada suatu pertandingan dapat berubah menjadi emosi positif. Emosi positif seperti senang dan bersemangat merupakan gejala lain yang dapat muncul pada seorang atlet apabila atlet tersebut memiliki kemampuan mengatur emosi, atau kemampuan menstabilkan emosi yang muncul pada dirinya. Setyobroto (2002) menyebutkan bahwa salah satu gejala yang muncul pada seorang atlet adalah adanya stabilitas emosi. Stabilitas emosi akan dipengaruhi oleh adanya kematangan emosi, ketahanan mental, dan mental training. 



Salah satu temuan penelitian ini menyebutkan bahwa seorang atlet dapat melatih kestabilan emosinya melalui latihan sparring partner yang berfungsi untuk mempelajari dan mengenali bentuk-bentuk reaksi emosi yang mungkin muncul dari lawan yang dihadapinya.

Kestabilan emosi pada pertandingan kumite dinilai sebagai suatu hal yang penting karena dapat mempengaruhi pukulan, tendangan, semua serangan yang dilakukan atlet tersebut kepada lawannya, dan otomatis mempengaruhi performa atau penampilannya di lapangan. Padahal, seorang atlet secara tidak langsung dituntut untuk menampilkan permainan atau pertandingan yang sportif dan menarik untuk dilihat atau ditonton. 

Kestabilan emosi seorang atlet pada suatu pertandingan kumite dapat dikatakan sebagai suatu kemampuan untuk mengontrol permainan, mensiasati pertandingan agar tidak mudah terpengaruh oleh emosi atau permainan lawan dan keputusan-keputusan wasit yang dianggap merugikan diri atlet tersebut. Seorang atlet yang memiliki kestabilan emosi terlihat lebih tenang dalam menghadapi lawannya di arena pertandingan, memiliki ritme permainan yang tetap dalam kondisi apapun, dan selalu berada pada titik performa terbaik di setiap pertandingan yang diikutinya.

Terbentuknya kestabilan emosi pada diri seorang atlet dapat berasal dari dalam diri atlet sendiri dan karena adanya pengaruh dari luar diri atlet. Kestabilan emosi yang sudah ada dalam diri seorang atlet dapat terbentuk karena adanya pengaruh dari faktor keturunan atau bawaan dan faktor kepribadian. Seorang atlet yang memiliki kepribadian yang tenang dan matang, cenderung akan memiliki kestabilan emosi dibandingkan dengan atlet yang memiliki sifat kepribadian arogan seperti yang dicontohkan oleh salah seorang subjek penelitian ini. 


Kestabilan emosi yang terbentuk karena adanya pengaruh dari luar diri atlet dapat dipengaruhi oleh faktor pengalaman, pelatih, kesiapan dalam menghadapi pertandingan, pendukung, penonton, dan kepercayaan diri. Kepercayaan diri dalam suatu pertandingan olah raga dapat dipastikan menjadi salah satu faktor penentu suksesnya seorang atlet. Atlet yang rasa percaya dirinya hilang atau berkurang akan mengakibatkan penampilannya tidak maksimal karena tampil di bawah kemampuannya. Seorang pelatih juga sangat berpengaruh dalam menumbuhkan rasa kepercayaan diri dalam diri atlet. Hal tersebut dapat dilakukan dengan dibangunnya komunikasi dua arah yang baik antara atlet dengan pelatih agar terjalin pengertian antar keduanya, sehingga program latihan dan peraturan dapat dijalankan sesuai dengan yang telah ditetapkan (PB-PBSI, 2006).

Kestabilan emosi yang terbentuk karena faktor dari luar diri atlet sifatnya dapat dilatih dan dapat berkembang, seiring dengan pengaruh dari keenam faktor di atas. Berkembangnya kestabilan emosi pada diri atlet tidak secara pasti dapat dirasakan tahap-tahap perubahannya, terbentuk seiring dengan banyaknya pengalaman bertanding yang dialami seorang atlet, dan akan dapat dirasakan manfaatnya secara tidak langsung pada saat atlet tersebut bertanding. Pengalaman sebagai salah satu komponen yang didapat karena interaksi individu dengan lingkungan, menurut Lewis akan memberikan pengaruh pada perkembangan emosi seseorang yang akan mempengaruhi kematangan emosinya. Lewis mengatakan bahwa pembentukan kematangan emosi terbentuk karena adanya interaksi antara bawaan (secara natural) dengan lingkungan (Strongman, 2003).

Atlet yang telah memiliki kestabilan emosi akan selalu berusaha untuk mengawali pertandingannya dengan perasaan yang lebih tenang dan rileks. Atlet tersebut tahu bagaimana caranya agar dirinya dapat lebih santai dan merasa rileks ketika bertanding. Salah satu contoh perilaku yang membantu menenangkan diri atlet sebelum bertanding adalah dengan berteriak. Selain membantu menenangkan diri, berteriak juga dapat membantu meningkatkan rasa percaya diri dan semangat dalam diri atlet tersebut. Berteriak merupakan salah satu cara yang dianjurkan oleh seorang pelatih olah raga bela diri, karena sedikit banyak dapat mengendurkan ketegangan yang dialami oleh atlet yang sedang bertanding (Kompas Cyber Media, 2006).

Atlet yang memiliki kestabilan emosi dapat mengenali kondisi dan mengenali emosi yang muncul pada dirinya. Apabila emosi yang muncul dirasa dapat merugikan dirinya dan diri orang lain, atlet tersebut dapat mengatur emosinya sehingga tidak sampai keluar menjadi suatu gerakan atau serangan yang merugikan lawannya. Menurut Salovey, salah satu bentuk kecerdasan emosional adalah dapat mengenali emosi pada diri sendiri, yang mencakup adanya kesadaran diri, dan mengetahui perasaan apa yang dirasakan sewaktu perasaan itu terjadi (Goleman, 2002).


Kondisi lain yang terdapat pada atlet yang memiliki kestabilan emosi adalah adanya usaha untuk selalu bermain safe atau aman. Atlet tersebut dapat menyiasati perasaannya sendiri pada saat bertanding dan dapat mengontrol emosi selama pertandingan berlangsung sehingga dapat memenangkan pertandingan tanpa merugikan diri sendiri atau orang lain.

Sebaliknya, seorang atlet yang tidak memiliki kestabilan emosi pada saat bertanding dapat dipengaruhi karena tidak terpenuhinya enam faktor yang dapat mendukung terbentuknya kestabilan emosi. Misalnya, kurangnya persiapan fisik dan mental atlet tersebut dalam menghadapi pertandingan, tidak adanya dukungan dari orang-orang terdekatnya, dan tidak adanya figur pelatih yang dapat memaksimalkan potensi serta mengangkat semangat dari dalam diri atlet yang bersangkutan.

Atlet yang tidak memiliki kestabilan emosi pada saat bertanding akan mudah terpengaruh secara fisik dan mental. Secara mental, atlet yang tidak memiliki kestabilan emosi akan sangat mudah terpancing emosinya oleh gerakan-gerakan atau serangan yang dilakukan oleh lawannya. Ketika emosinya sudah mulai terpancing, atlet tersebut akan terpengaruh aspek fisiologisnya. Misalnya, atlet tersebut akan merasakan ketegangan otot, yang dapat menyebabkan gerakannya menjadi kaku. Hal ini akhirnya akan mempengaruhi kondisi atlet secara fisik. Gerakan atlet yang tidak memiliki kestabilan emosi akan menjadi kacau, serangan yang dikeluarkannya sudah tidak berdasarkan teknik yang telah dipelajari, dan ritme permainan menjadi berubah dan tidak beraturan. 

Selain hal-hal yang telah disebutkan, akibat yang akan sangat merugikan tanpa adanya kestabilan emosi adalah apabila gerakan-gerakan yang dilakukan atlet tanpa adanya kontrol dapat menciderai dirinya sendiri dan lawannya. Apabila seorang atlet cidera, atau menciderai lawannya sampai salah satu pihak tidak dapat melanjutkan pertandingan lagi, maka atlet yang menciderai itu akan dikenakan sanksi berupa diskualifikasi dan tidak dapat melanjutkan pertandingan. Tentu saja hal tersebut akan sangat merugikan atlet yang bersangkutan.



Dari berbagai sumber..
Diposting oleh Sceru King 0 komentar
Read More

Sabtu, 15 Oktober 2011

Kumite Teknik

0 komentar
Diposting oleh Sceru King 0 komentar
Read More